MENUJU MADRASAH BERKUALITAS
Oleh :Hendri Hendarsah, S.Sos., M.Si
Pegawai Kementerian Agama Kota
Tasikmalaya
Dipublikasikan kembali oleh: Khairul
Warisin, S.Pd.I
KEHADIRAN madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia merupakan simbiosis mutualistis
antara masyarakat muslim dan madrasah itu sendiri. Secara historis kelahiran
madrasah tidak bisa dilepaskan dari peran/partisipasi masyarakat terhadap dunia
pendidikan. Pendidikan madrasah di Indonesia yang lahir pada awal abad ke-20
dengan munculnya Madrasah Mambaul Ulum di Keraton Surakarta tahun 1905 dan
Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat
tahun 1909 (Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan
Islam yang telah ada, yakni antara pengaruh pembaharuan Islam di Timur Tengah,
pendidikan Barat dan tradisi pendidikan Islam di Indonesia. Pembaharuan
tersebut meliputi tiga hal, yaitu : usaha penyempurnaan sistem pendidikan
pesantren, penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan menjembatani antara
sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.
Dengan kata lain, munculnya sistem
pendidikan madrasah juga merupakan respon atas kebijakan dan politik pendidikan
Hindia Belanda pada saat itu. Politik pendidikan Hindia Belanda yakni dengan
membuka lebih luas kesempatan pendidikan bagi penduduk pribumi, yang semula
hanya terbatas pada kaum bangsawan, disamping merupakan politik etik, balas
budi, juga merupakan salah satu usaha pemerintah Hindia Belanda untuk
menundukkan masyarakat pribumi melalui jalur pendidikan
Pembaharuan Manajemen Pendidikan Madrasah
Persepsi masyarakat terhadap madrasah
di era modern belakangan semakin menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan
yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat
filsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan dan di saat
perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan madrasah
tampak makin dibutuhkan orang.
Terlepas dari berbagai problema yang
dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen,
kualitas input dan kondisi sarana prasarananya, madrasah yang memiliki
karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya itu
menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern untuk mengatasi
keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena
demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan
peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model pendidikan
pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel
diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah
bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi
model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri
lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang
dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual, kesan
kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama itu melekat pada pesantren
sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat metropolit makin tidak malu
mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model
pendidikan madrasah. Baik mereka yang sekedar berniat menempatkan putra-putrinya
pada lingkungan yang baik (agamis) hingga yang benar-benar menguasai ilmu yang
dikembangkan di pesantren tersebut, orang makin berebut untuk mendapatkan
fasilitas di sana.
Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan
pengembangan madrasah akhir-akhir ini dirasa cukup tinggi. Oleh karena itu
banyak model pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil
maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang berkembang di
luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan etika agamanya tetap
menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika pergaulan, perilaku
dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik tersendiri, yang
menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat sebagaimana tujuan pendidikan
Islam.
Keberhasilan pendidikan secara
kuantitatif didasarkan pada teori Benjamin S. Bloom (1956) yang dikenal dengan
nama Taxonomy of Educational Objectives, yang mencakup tiga domain yaitu
kognitif, afektif dan psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan output
(lulusan) pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya, anak
yang tidak pemah shalat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan
Agama Islam) dengan baik maka ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya baik,
maka ia pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Lain
halnya dengan outcome (performance) seorang alumni Madrasah,
bagaimanapun nilai raport dan hasil ujiannya, moral keagamaan yang melekat pada
sikap dan perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan lembaga
pendidikan yang menjadi tempat ia belajar. Karena itulah keberhasilan out-come
disebut keberhasilan afektif dan psikomotorik. Bagi lembaga pendidikan
“Madrasah”, kedua standar keberhasilan (output dan outcome) yang
mencakup tiga domain taxonomy of educational objectives, tidak dapat
dipisahkan. Di samping Madrasah mendidik kecerdasan, ia juga membina moral dan
akhlak siswanya. Itulah nilai plus madrasah dibandingkan sekolah umum yang
menekankan pembinaan kecerdasan intelek (aspek kognitif).
Penerapan Manajemen Pendidikan Madrasah
Dengan ciri khas madrasah yang berbeda
dengan pendidikan formal lainnya, sesungguhnya membawa angin segar bagi
perubahan di berbagai aspek dan tidak justru minder dan takut untuk melakukan
perubahan. Sehingga tujuan didirikannya madrasah sebagai penguatan nilai-nilai
akhlak bagi siswa dan penerapnnya di masyarakat dapat terealisasi dengan baik.
setidaknya ada beberapa agenda pembaharuan pendidikan madrasah ke depan,
diantaranya: Pertama Kurikulum. Untuk memenuhi tuntutan siswa dan
masyarakat, perlu dilakukan pembaharuan kurikulum pada tiga aspek penting,
yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Perencanaan kurikulum harus
didahului dengan kegiatan kajian kebutuhan (need assessment)
secara akurat. Kajian kebutuhan tersebut dikaitkan dengan tuntutan era global,
utamnya pendidikan yang berbasis pada kecakapan life skill. Pelaksanaan
kurikulumnya menggunakan pendekatan kecerdasan majemuk (multiple
Intelegence) dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and
learning). Sedangkan evaluasinya hendaknya menerapkan penilainnya menyeluruh
terhadap semua kompetensi siswa (authentic assessment). Kedua Manajemen
Sarana Prasarana Pendidikan. Untuk mendukung pelaksanaan kurikulum di atas,
madrasah hendaknya mengupayakan tersedianya sumber belajar dan media pendidikan
berbasis teknologi. Misalnya penggunaan literature digital dan berbagai
ilmu agama dan umum. Perlu diketahui bahwa saat ini, banyak kitab-kitab dan
hadist mu`tabar telah di CD- kan, sehingga memudahkan guru dan siswa dam
mempelajarinya. Di samping itu juga, perlu dikenalkan teknologi informasi
on-line, yaitu internet dimana saat ini menjadi sumber rujukan bagi
masyarakat. Ketiga, Menajemen
Pembelajaran. Di era demokaratisasi dan desentralisasi saat ini, maka proses
pembelajaran sudah seharusnya berpusat pada siswa, dimana siswa bukan lagi
dianggap obyek, melainkan subyek partisipasi pendidikan dan guru di posisi ini
adalah sebagai fasilitator dan pembimbing siswa, sehingga tentu proses ini
harus didukung dengan metode mengajar yang menciptakan iklim demokratis dan
harmonisasi siswa dengan guru. Percepatan dan kompetitif siswa merupakan wujud
dari pengelolaan pembelajaran, yaitu quantum teaching dan learning.
Melihat gambaran umum, eksistensi
madrasah dengan berbagai problematikanya, tentu hal ini tidak menjadikan
pesimistis bagi civitas madrasah, melainkan menjadi stimulant untuk melakukan
upaya pembaharuan dalam manajemen pengelolaan madrasah, agar tujuan pendidikan
madrasah dan nasional tercapai dengan baik. Pembenahan harus dilakukan
diantaranya adalah leadership, manajemen kurikulum, pembelajaran, dan sarana
prasarana. Banyak konsep yang diatawarkan sebagai sebuah alternatif dan tanpa
harus menghilangkan ciri khas madrasah sebagai elan vital penguatan nilai-nilai
relegius yang muara akhirnya adalah menciptakan pribadi muslim yang intelektual
dan survive untuk segala tantangan zaman. Akhirnya harapan pembaharuan segera
terwujud dan tentu saja partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar