Rabu, 06 Maret 2013

Transformasi Peradaban


TRANSFORMASI PERADABAN DAN POLITIK PARTISIPATIF
Jusman Dalle - detikNews

Jakarta - Mencerdaskan Kehidupan Bangsa merupakan salah satu tujuan kemerdekaan, sebagaimana tertuang dalam preambule (pembukaan) Undang Undang Dasar 1945 sebagai landasan yuridis.
Seiring dengan transformasi dan dinamika global, cita-cita luhur itu kemudian terus beradaptasi dengan konteks zaman dan tantangan bangsa.
Kesadaran bahwa pendidikan merupakan suluh penerang kehidupan sekaligus nafas peradaban, secara umum dapatlah kita refleksikan pada bangsa-bangsa besar yang pernah menjadi imperium, termasuk juga peradaban barat yang kini menjadi kiblat ilmu pengetahuan dan kemjuan kehidupan.
Berbagai literatur menyebutkan bahwa pendidikan merupakan kawah candradimuka lahirnya peradaban-peradaban besar yang pernah mengisi ruang sejarah kita.
Di dalam kitab Min Rawaaih Hadharatinaa misalnya, cendikian muslim asal Damaskus Dr. Mustafa As Siba'i mendeskripsikan secara eksplisit kemajuan peradaban Islam yang menjadi kiblat peradaban sejak masa Abbasiyah di Irak hingga Andalusia di Spanyol (abad 7 M - 13 M), berkat kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu.

Transformasi Peradaban
Sederet nama cendikiawan muslim yang menjadi rujukan umat manusia, tidak hanya umat Islam, tetapi juga rujukan bangsa barat, mengisi etalase dan menjadi prasasti emas peradaban manusia.
Sebutlah misalnya Ibnu Sina dengan kitab Al Qanuun yang kemudian menjadi rujukan ilmu kedokteran modern dan pada abad XII diterjemahkan di Eropa. Oleh orang barat, Ibnu Sina disebut dengan nama Aviasinne.
Ilmuwan lain yang buah pemikiran di dalam kitabnya juga diterjemahkan oleh bangsa Eropa adalah AR Razi. Kitab Al Hawiy yang lebih tebal dari Al Qanuun, diterjemahkan pada akhir abad XII. Kedua buku ini masih menjadi rujukan ilmu medis (kedokteran) di Eropa hingga abad XVI.
Pada abad XIII, Ghiteron dari Polska menerjemahkan kitab Al Bashariyyah karya Hasan bin AL Haitsam. Masih pada abad yang sama, Gherardo dari Cremonia, Italia menerjemahkan ilmu falak (perbintangan) yang hakiki dengan terjemahan Al Majisti karya Ptolemee dan Asy Syarh karya Jabir bin Hayyan.
Integritas ilmuwan-ilmuwan Islam juga diakui oleh orang-orang barat sendiri. Gustave Le Bon, seorang psikolog sosial, sosiolog, dan juga fisikawan amatir dari Prancis mengatakan bahwa terjemahan buku bangsa-bangsa Arab (Islam) lah, terutama buku-buku sains hampir menjadi sumber satu-satunya bagi banyak pengajaran di banyak perguruan tinggi Eropa selama lima hingga enam abad.
Bahkan Le Bon mengatakan bahwa buku-buku karya ulama Islam lah yang dijadikan sandaran oleh Roger Bacon (seorang filsuf Inggris), Leonardo Da Vinci (seorang polymath Italia: pelukis, pematung, arsitek, musisi, ilmuwan, matematikawan, insinyur, penemu, ahli anatomi , ahli geologi, pembuat peta, ahli botani dan penulis), Arnold de Philippe, Raymond Lull, San Thomas, Albertus Magnus, serta Alfonso X.
Transformasi besar-besaran ilmu dari dunia Islam yang memajukan Eropa (barat secara umum), juga diakui oleh Monsieur Renan. Menurut Renan, Al Bertus Magnus adalah pengikut Ibnu Sina, sedangkan San Thomas dalam pandangan filsafatnya adalah penganut Ibnu Rusyd (oleh Barat, dikenal dengan Averroes).
Tidak hanya itu, dalam bidang astronomi, geografi, dan kartografi (ilmu pembuatan peta) yang menjadi acuan bangsa barat dalam penjelajahan selama masa renaissance Eropa, peta yang paling akurat adalah milik Abu Abdillah Syarif Al Idrisi. Al Idrisi merupakan seorang ahli geografi dari Arab yang petanya digunakan oleh Barat selama ratusan tahun.
Eropa yang sebelumnya tidak pernah pergi jauh, hidup dalam zaman kegelapan, akhirnya bisa menjadi penjajah yang menjajah sebagian besar negara di dunia. Padahal jauh sebelum Eropa bisa menjelajah, pedagang-pedagang dan da’i dari Arab pada masa Umar bin Khattab sudah membelah samudera, hingga ke Cina, sebagaimana dicatat oleh Prof. Ahmad Mansur Suryanegara di dalam bukunya, Api Sejarah.
Jika kita berbeser ke Timur, kenyataan tak jauh beda kita dapatkan. Kemajuan bangsa Jepang dengan produk teknologi yang menguasai dunia, juga karena kelimuan yang diformulasi dalam Restorasi Meiji. Jepang sebelum Restorasi Meiji (1868) adalah Negara agraris yang miskin. Akan tetapi, dalam waktu 40 tahun saja, pada akhir ke-19, Jepang mampu mensejajarkan diri dengan Negara-negara Barat.
Diterapkan pendidikan wajib dan bebas bagi seluruh rakyat selama 4 tahun dan dibukanya berbagai macam dan tingkatan sekolah, hingga pada tingkat universitas.
Dalam masa Meiji semua orang bisa merubah status sosial sesuai dengan prestasi pendidikannya. Itulah yang membuat dorongan kepada semua orang untuk belajar keras. Hingga kini, produk teknologi Jepang menguasai rumah-rumah kita, di Barat dan di Timur.
Ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh Islam abad pertengahan hingga abad 13, juga diikuti oleh oleh Barat, di susul oleh bangsa Jepang dan kini Cina, menjadi bukti bahwa ilmu pengetahuan adlah kunci dalam pembangunan, baik itu bangsa maupun peradaban yang mendunia.
Maka jelaslah kiranya firman Allah SWT di dalam Al Qur’an surat ke 58. Allah SWT berfirman : ...Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah:11)
Kemuliaan suatu umat atau bangsa dengan ilmu pengetahuan sampai pada dijadikannya sebagai kiblat dalam pembangunan, baik fisik maupun non fisik. Walaupun kita meyakini bahwa di Barat, terjadi disparitas antara ilmu yang sifatnya duniawi dan ilmu ukhrawi. Ada ketidak seimbangan, sehingga ilmu menjadi alat yang cenderung merusak tatanan kehidupan.

Bangsa Sempurna
Islam menekankan moralitas dan kemanusiaan secara universal dalam ilmu pengetahuan, sehingga memiliki potensi untuk kembali menata wajah dunia yang dikuasai oleh materialisme.

Indonesia bisa menjadi bangsa yang sempurna, dalam artian menyemai benih kompetisi untuk menuntut ilmu (fastabiqul kahiyrat), dalam kerangka nilai-nilai agama yang di tinggalkan Barat maupun Jepang yang anak mudanya kini telah larut dalam kontaminasi budaya hedonisme Barat.
Kesadaran tentang pentingnya ilmu pengetahuan berbasis religiusitas (nilai-nilai keagamaan), juga direfleksikan oleh ayat pertama kali diturunkan Allah SWT. Di dalam surat Al 'Alaq, Allah SWT memulai dengan perintah membaca (Iqra').
Membaca disini bisa diapahami sebagai upaya untuk menggali khazanah keilmuan, baik secara tertulis melalui ayat-ayat Qauliyah (perkataan) maupun ayat Kauniyah atau secara tersurat melalui fenomena alam.
Dalam konteks dan kerangka otonomi dan pembangunan daerah yang dimulai sejak awal reformasi bergulir, pendidikan menjadi urat nadi sekaligus sirkulasi dan instrumen maju tidaknya suatu daerah.
Maka program pendidikan gratis sebagai derivasi dari program nasional wajib belajar 9 tahun, menjadi keniscayaan. Daya saing dan kemandirian daerah ditentukan oleh kepedulian pemerintah pada daerah tersebut terhadap pendidikan.
Fakta menarik yang tidak bisa dibantah adalah, sejak program pendidikan dasar 9 tahun dicanangkan, kualitas masyarakat Indonesia mengalami trend posotif. Terjadi transformasi menjadi masyarakat yang melek ilmu pengetahuan.
Menurut ekonom Drajat Wibowo, fakta ini didukung oleh statistik tentang semakin sejahteranya masyarakat Indonesia yang dilatari oleh meningkatnya ilmu pengetahuan, sehingga mampu mengakses pekerjaan-pekerjaan yang mensejahterakan.
Jika digalakkan dan terus dipertahankan, maka impian menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari 5 negara maju di dunia sebagaimana prediksi beberapa lembaga survey dan keuangan global seperti Standard Cahrter Bank, akan segera terwujud.
Karena kesejahteraan akan menyebar, sehingga rantai-rantai kemiskinan yang selama ini menciptakan kemiskinan struktural, bisa diputuskan. Logika sederhananya, bahwa orang yang berpendidikan tinggi dan berkualitas, bisa mengakses lapangan pekerjaan yang lebih baik. Bahkan bisa memilih pekerjaan yang diinginkan.

Partisipasi Politik
Selain itu, dalam konteks pemerintahan, pendidikan juga akan melahirkan masyarakat cerdas dan kritis, sehingga bisa menjadi penyeimbang dalam pembangunan. Menjadi entitas intelektual organik, menjadi watchdog yang memonitoring pemerintah.
Keterlibatan masyarakat dalam berbagai kebijakan publik, secara akseleratif akan mendorong lahirnya good governance dan clean governance. Maka salah satu subtansi demokrasi, yaitu terwujudnya partisipasi publik sebagai pelaku demokrasi hanya dapat dicapai melalui kontruksi dasar pendidikan yang berkualitas.

Jika kita melihat referensi di dalam Islam, hal ini sangat jelas tertuang dalam berbagai literatur baik dari Al Qur'an maupun karya-karya ulama klasik. Politik partisipatif yang dimaksud yaitu dalam bentuk tadzkirah maupun tanasuh. Allah Ta'ala berfirman:
"Pergilah engkau (Musa) kepada Fir'aun karena ia telah thagha" (QS. Thaha:24, Qs. An Nazi'at: 17) atau ayat lain "Pergilah engkau berdua (Musa dan Harun) kepada Fi'aun karena ia telah thagha" (QS. Thaha: 43)
Imam Ibnu Katsir -rahimahullah menafsirkan "Maksudnya (Fir'aun) telah melakukan penindasan dan menyombongkan diri." (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur'anul Azhim, 4/ 468).
"Pergilah engkau (Musa) kepada Fir'aun, penguasa Mesir, yang telah mengusir dan memerangimu, ajaklah ia untuk ibadah kepada Allah satu-satunya, tiada sekutu bagiNya, dan hendaknya ia berbuat baik kepada Bani Israel, jangan menyiksa mereka. Sesungguhnya ia telah melampaui batas dan membangkang, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia dan melupakan Rabb yang Maha Tinggi."
Jadi subtansi dalam konteks tafsir Ibnu Katsir di atas adalah amar ma’ruf dan nahi munkar kepada penguasa, atau dalam konteks demokrasi modern disebut sebagai partisipasi politik.
Oleh karenanya, pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab menjamin kecerdasan masyarakat, harus amanah dan adil dalam distribusi peluang meraih kualitas pendidikan bagi masyarakat
.
Misalnya dalam bentuk memudahkan akses pendidikan. Dari pendidikan gratis -yang marak dijadikan jualan politik di sejumlah daerah-, hingga pendidikan berkualitas. Termasuk juga pemberian reward sebagai dorongan dan motivasi, kepada insan-insan pendidikan baik, siswa, mahasiswa, maupun guru yang berprestasi.
*Penulis adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan analis Ekonomi Politik Society Research And Humanity Development (SERUM) Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar