Jumat, 08 Maret 2013

Madrasah Berkualitas



MENUJU MADRASAH BERKUALITAS
Oleh :Hendri Hendarsah, S.Sos., M.Si
Pegawai Kementerian Agama Kota Tasikmalaya
Dipublikasikan kembali oleh: Khairul Warisin, S.Pd.I

KEHADIRAN madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia merupakan simbiosis mutualistis antara masyarakat muslim dan madrasah itu sendiri. Secara historis kelahiran madrasah tidak bisa dilepaskan dari peran/partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan. Pendidikan madrasah di Indonesia yang lahir pada awal abad ke-20 dengan munculnya Madrasah Mambaul Ulum di Keraton Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan Islam yang telah ada, yakni antara pengaruh pembaharuan Islam di Timur Tengah, pendidikan Barat dan tradisi pendidikan Islam di Indonesia. Pembaharuan tersebut meliputi tiga hal, yaitu : usaha penyempurnaan sistem pendidikan pesantren, penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.
Dengan kata lain, munculnya sistem pendidikan madrasah juga merupakan respon atas kebijakan dan politik pendidikan Hindia Belanda pada saat itu. Politik pendidikan Hindia Belanda yakni dengan membuka lebih luas kesempatan pendidikan bagi penduduk pribumi, yang semula hanya terbatas pada kaum bangsawan, disamping merupakan politik etik, balas budi, juga merupakan salah satu usaha pemerintah Hindia Belanda untuk menundukkan masyarakat pribumi melalui jalur pendidikan
Pembaharuan Manajemen Pendidikan Madrasah
Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan semakin menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat filsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan orang.
Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya, madrasah yang memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama itu melekat pada pesantren sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat metropolit makin tidak malu mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model pendidikan madrasah. Baik mereka yang sekedar berniat menempatkan putra-putrinya pada lingkungan yang baik (agamis) hingga yang benar-benar menguasai ilmu yang dikembangkan di pesantren tersebut, orang makin berebut untuk mendapatkan fasilitas di sana.
Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah akhir-akhir ini dirasa cukup tinggi. Oleh karena itu banyak model pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang berkembang di luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan etika agamanya tetap menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika pergaulan, perilaku dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat sebagaimana tujuan pendidikan Islam.
Keberhasilan pendidikan secara kuantitatif didasarkan pada teori Benjamin S. Bloom (1956) yang dikenal dengan nama Taxonomy of Educational Objectives, yang mencakup tiga domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan output (lulusan) pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya, anak yang tidak pemah shalat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan Agama Islam) dengan baik maka ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya baik, maka ia pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Lain halnya dengan outcome (performance) seorang alumni Madrasah, bagaimanapun nilai raport dan hasil ujiannya, moral keagamaan yang melekat pada sikap dan perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan lembaga pendidikan yang menjadi tempat ia belajar. Karena itulah keberhasilan out-come disebut keberhasilan afektif dan psikomotorik. Bagi lembaga pendidikan “Madrasah”, kedua standar keberhasilan (output dan outcome) yang mencakup tiga domain taxonomy of educational objectives, tidak dapat dipisahkan. Di samping Madrasah mendidik kecerdasan, ia juga membina moral dan akhlak siswanya. Itulah nilai plus madrasah dibandingkan sekolah umum yang menekankan pembinaan kecerdasan intelek (aspek kognitif).
Penerapan Manajemen Pendidikan Madrasah
Dengan ciri khas madrasah yang berbeda dengan pendidikan formal lainnya, sesungguhnya membawa angin segar bagi perubahan di berbagai aspek dan tidak justru minder dan takut untuk melakukan perubahan. Sehingga tujuan didirikannya madrasah sebagai penguatan nilai-nilai akhlak bagi siswa dan penerapnnya di masyarakat dapat terealisasi dengan baik. setidaknya ada beberapa agenda pembaharuan pendidikan madrasah ke depan, diantaranya: Pertama Kurikulum. Untuk memenuhi tuntutan siswa dan masyarakat, perlu dilakukan pembaharuan kurikulum pada tiga aspek penting, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Perencanaan kurikulum harus didahului dengan kegiatan kajian kebutuhan  (need assessment) secara akurat. Kajian kebutuhan tersebut dikaitkan dengan tuntutan era global, utamnya pendidikan yang berbasis pada kecakapan life skill. Pelaksanaan kurikulumnya menggunakan pendekatan kecerdasan majemuk (multiple Intelegence) dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Sedangkan evaluasinya hendaknya menerapkan penilainnya menyeluruh terhadap semua kompetensi siswa (authentic assessment). Kedua Manajemen Sarana Prasarana Pendidikan. Untuk mendukung pelaksanaan kurikulum di atas, madrasah hendaknya mengupayakan tersedianya sumber belajar dan media pendidikan berbasis teknologi. Misalnya penggunaan literature digital dan berbagai ilmu agama dan umum. Perlu diketahui bahwa saat ini, banyak kitab-kitab dan hadist mu`tabar telah di CD- kan, sehingga memudahkan guru dan siswa dam mempelajarinya. Di samping itu juga, perlu dikenalkan teknologi informasi on-line, yaitu internet dimana saat ini menjadi sumber rujukan bagi masyarakat. Ketiga, Menajemen Pembelajaran. Di era demokaratisasi dan desentralisasi saat ini, maka proses pembelajaran sudah seharusnya berpusat pada siswa, dimana siswa bukan lagi dianggap obyek, melainkan subyek partisipasi pendidikan dan guru di posisi ini adalah sebagai fasilitator dan pembimbing siswa, sehingga tentu proses ini harus didukung dengan metode mengajar yang menciptakan iklim demokratis dan harmonisasi siswa dengan guru. Percepatan dan kompetitif siswa merupakan wujud dari pengelolaan pembelajaran, yaitu quantum teaching dan learning.
Melihat gambaran umum, eksistensi madrasah dengan berbagai problematikanya, tentu hal ini tidak menjadikan pesimistis bagi civitas madrasah, melainkan menjadi stimulant untuk melakukan upaya pembaharuan dalam manajemen pengelolaan madrasah, agar tujuan pendidikan madrasah dan nasional tercapai dengan baik. Pembenahan harus dilakukan diantaranya adalah leadership, manajemen kurikulum, pembelajaran, dan sarana prasarana. Banyak konsep yang diatawarkan sebagai sebuah alternatif dan tanpa harus menghilangkan ciri khas madrasah sebagai elan vital penguatan nilai-nilai relegius yang muara akhirnya adalah menciptakan pribadi muslim yang intelektual dan survive untuk segala tantangan zaman. Akhirnya harapan pembaharuan segera terwujud dan tentu saja partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan.***

FENOMENA REALITAS SISTEM PENDIDIKAN MADRASAH



Sistem Pendidikan Madrasah
*By: Khai_Warisin
Menurut Mastuhu (1994), suatu lembaga pendidikan akan berhasil menyelenggarakan kegiatannya jika ia dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam kehidupan masyarakat yang melingkarinya. Keberhasilan ini menunjukkan adanya kecocokan nilai antara lembaga pendidikan yang bersangkutan dan masyarakatnya, setidak-tidaknya tidak bertentangan. Lebih dari itu, suatu lembaga pendidikan akan diminati oleh anak-anak, orang tua, dan seluruh masyarakat apabila ia mampu memenuhi kebutuhan mereka akan kemampuan ilmu dan teknologi untuk menguasai suatu bidang kehidupan tertentu, kemampuan moral keagamaan dan moral sosial-budaya untuk menempatkan diri mereka di tengahtengah pergaulan bersama sebagai manusia terhormat .
Sementara itu menurut Kuntowijoyo dalam Munir Mulkhan (1994) mengatakan bahwa pengembangan pendidikan umum di pesantren dan sekolah-sekolah agama (madrasah) telah dapat menghilangkan eksklusivisme budaya di kalangan anak-anak santri . Dalam kaitan ini, disinilah perlunya pemberian pengetahuan umum pada lembaga-lembaga pendidikan agama, dan ini tampak makin menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak sejalan dengan tuntutan modernitas.
Di samping itu agar lulusan sekolah-sekolah agama, khususnya madrasah, bisa menyesuaikan diri di alam yang telah maju, maka timbul usaha dari pihak pemerintah untuk lebih meningkatkan mutu madrasah ini agar sejajar dengan sekolah-sekolah umum yang sederajat .
Oleh karena itu, dalam kaitan ini menurut Imam Bawani (2000), persoalan utamanya adalah bagaimana dunia pendidikan Islam di Indonesia berhasil menuntaskan peserta didiknya dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sekaligus tetap memiliki kesempatan untuk mendalami hal-ihwal keagamaan.
Ibaratnya, kalau bisa 100% menguasai iptek dan 100% pula mendalami imtaq. Jangan sampai ada yang terabaikan antara keduanya. Tidak boleh penguasaan ilmu agama dikorbankan untuk semata mengejar pengetahuan umum, demikian pula ilmu pengetahuan umum diabaikan demi semata mempelajari ilmu agama.
Lebih lanjut alternatif solusi menurutnya adalah perlu diterapkan system full day school untuk tingkat dasar, dan model pendidikan berasrama untuk tingkat lanjutan, menengah, dan perguruan tinggi . Selanjutnya, wujud peningkatan mutu di beberapa madrasah selama ini, hasilnya ditandai dengan kesejajaran tingkat kompetitifnya dengan sekolahsekolah umum, baik negeri maupun swasta. Di Jawa Timur misalnya, madrasah yang memiliki kategori seperti ini adalah MIN 1 Malang dan MAN 3 Malang.
Di Jawa Barat, terdapat MAN Serpong yang merupakan peralihan dari SMU Islam Cendekia Serpong. Dan, sejalan dengan tuntutan modernitas, melalui upaya pengintegrasian kurikulum dalam sistem pendidikan madrasah diharapkan dapat meng-counter dikotomi tentang mana yang lebih penting antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam kajian ini, sistem pendidikan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam tidak hanya terbatas pada persoalan kurikulum saja, akan tetapi juga mencakup SDM guru, kegiatan belajar-mengajar, dan sarana prasarana (fasilitas).
Sementara itu, dalam kaitan dengan peran madrasah dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia, terdapat pertanyaan sebagai berikut: seberapa jauh sumbangsih madrasah dalam sistem pendidikan nasional?
Terdapat perbedaan antara Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di kalangan Departemen Agama, sistem madrasah dianggap merupakan sumbangan kepada bangsa, baik menurut tuntutan zaman modern maupun menurut Islam, meskipun ada kesan bahwa mata pelajaran umum belum diberikan secara optimal. Sementara itu, di kalangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menilai, bahwa sistem madrasah sering tidak dihargai sebagai sumbangan besar terhadap sistem pendidikan. Pengakuan formal hanya dipandang sebagai konsesi kepada umat Islam saja. Dalam publikasi pihak Islam, sumbangan madrasah kepada seluruh kegiatan pendidikan di Indonesia diuraikan secara panjang lebar, sedang dalam publikasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal itu hampir tidak disebut sumbangan Departemen Agama kepada sistem pendidikan. Misalnya dalam rencana 10 tahun memerangi buta huruf yang disusun pada tahun 1951 dan rencana memasukkan wajib belajar secara umum, sama sekali tidak disebut sumbangan madrasah terhadap rencana di atas.
Realitas yang terkesan diskriminatif pada madrasah saat itu, tampaknya dimasa sekarang sudah mengalami perubahan. Di masa sekarang, madrasah secara yuridis formal sudah diakui keberadannya dan menjadi bagian penting dari sistem pendidikan nasional di Indonesia. Hal ini paling tidak dapat dilihat pada SKB 3 Menteri, yaitu antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri tahun 1975 tentang peningkatan mutu madrasah, yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan SKB 2 Menteri, yaitu antara Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1984.
Landasan yuridis-formal tersebut juga dapat dilihat dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989, dan Undang-undang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, yang salah satu intinya adalah mengatur kesejajaran antara madrasah dan sekolah umum. Adapun latar belakang munculnya SKB 3 Menteri tersebut adalah bahwa dalam rangka mencapai tujuan nasional pada umumnya dan mencerdaskan kehidupan bangsa pada khususnya, serta memberikan kesempatan yang sama kepada tiap-tiap warga negara Indonesia untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pengajaran yang sama bagi tiap-tiap warga negara, perlu diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah, agar lulusan madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi.
Sementara itu, ketika membicarakan sistem pendidikan madrasah maka tidak bisa dilepaskan dengan komponen atau unsur-unsur yang terdapat dalam sistem tersebut. Komponen atau unsur yang dimaksud di antaranya adalah berkaitan dengan siswa, guru, kurikulum, proses pembelajaran, dan sarana prasarana (fasilitas lembaga). Pertanyaan besar yang dapat diajukan kepada madrasah adalah bagaimana sebenarnya kualitas unsur-unsur tersebut, apakah sudah sama dengan sekolah-sekolah umum ataukah masih di bawah standart ? Persoalan inilah yang selama ini menjadi tantangan bagi madrasah untuk terus memperbaiki kualitas.

Membangun Keunggulan Madrasah



Strategi Membangun Keunggulan Madrasah
**Celoteh Ringan Seorang Guru Madrasah**
Oleh Khairul Warisin, S.Pd.I
Latar Belakang
Era reformasi dan tuntutan kompetisi global dalam peningkatan mutu kehidupan telah membawa perubahan-perubahan yang mendasar dalam kehidupan manusia, termasuk kehidupan pendidikan. Seiring perjalanan waktu dan berdasarkan berbagai hasil penelitian sosial, makin terkuaklah bahwa keberhasilan pembangunan kehidupan masyarakat memiliki ketergantungan yang signifikan terhadap mutu pendidikan yang dikembangkan di tengah masyarakat. Makin tinggi mutu penyelenggaraan pendidikan masyarakat maka makin terkuasailah penerapan teknologi kehidupan, pada gilirannya akan lebih mengefektifkan kinerja masyarakat untuk menghasilkan buah usaha yang menjamin sirkulasi kemakmuran berjalan lebih lancar dan menggairahkan.
Peningkatan mutu pendidikan sudah bukan hal yang terpenting lagi, namun sudah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi. Perubahan paradigma dalam dunia pendidikan sudah saatnya digulirkan, sebab hasil pendidikan yang secara konvensional selama ini, terbukti mengandung banyak kelemahan untuk menyesuaikan dengan makin cepatnya iklim kompetisi menuju pada kemajuan kehidupan yang riil di tengah masyarakat. Oleh karena itulah maka langkah konkret untuk menuju terbentuknya sistem madrasah yang unggul sudah saatnya menjadi opini publik yang dikonsumsi oleh semua masyarakat, terutama masyarakat pendidikan, guna membuka cakrawala baru dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di tengah masyarakat.
Madrasah Unggul adalah madrasah yang sistem penyelenggaraannya menerapkan asas profesionalisme dan layanan prima dalam memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar sesuai dengan karakteristik, kelebihan dan kekurangan individu, serta konteks lingkungan siswa. Dengan demikian profil lulusan madrasah unggulan adalah lulusan yang mampu menguasai materi prasyarat untuk melanjutkan, mampu beradaptasi dengan perkembangan dan perubahan lingkungan, mampu mencari dan mengolah informasi dari multi sumber, memiliki sikap demokrasi dan menghargai hak-hak asasi manusia, berwawasan lingkungan, melek teknologi dan toleran terhadap perbedaan. (Karhami, 2000:2.edit)
Performance Madrasah Ideal
Sesungguhnya madrasah menjadi lembaga pendidikan yang ideal bagi peserta didik. Betapa tidak, di madrasahlah seorang siswa dikembangkan semua aspek potensi yang dimiliki dan dipenuhi segala kebutuhannya. Potensi akademis seharusnya dapat berkembang dengan baik, dengan diberikannya pembelajaran “ilmu umum” seperti bahasa asing, sains (IPA dan Sosial), matematika. Dengan bekal ilmu umum ini diharapkan potensi akademis siswa dapat bersaing untuk merebut ”dunia” mereka. Aspek sosial-religius, semestinya juga dapat berkembang dengan baik karena umumnya madrasah berdiri dan berkembang menyatu dengan masyarakat. Madrasah lahir dari kebutuhan masyarakat dan difasilitasi serta berkembang oleh masyarakat pula. Karena itu, madrasah tidak dapat terpisah dari masyarakatnya. Apalagi aspek religius, madrasah adalah tempat terbaik untuk membekali dan mengembangkan potensi anak didik untuk bidang ini. Pendek kata, di madrasahlah seorang siswa memperoleh bekal untuk memadai untuk hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Namun kenyataannya, tidak banyak madrasah yang menunjukkan prestasi di kedua bidang garapan tersebut, baik dalam ilmu umum maupun prestasi ilmu keagamaannya. Dalam bidang sains dan matematika, madrasah kalah bersaing dengan SMU dan dalam ilmu agama masih belum mampu bersaing dengan pesantren. Sekalipun menurut Imam Suprayogo (Suprayogo, 2004) tidak adil membandingkan sesuatu yang tidak sebanding. Sekolah umum yang umumnya sekolah negeri, dengan statusnya itu seluruh pembiayaan, ketenagaan dan semua kebutuhan fasilitas tercukupi oleh pemerintah dibandingkan dengan prestasi madrasah yang pada umumnya berstatus swasta dan tidak memperoleh fasilitas sebagaimana yang diterima oleh sekolah umum pada umumnya. Sekalipun begitu, tidak ada jeleknya jika pembandingan prestasi tersebut kita ambil nilai positifnya, yaitu memotivasi kita pengelola madrasah untuk berprestasi lebih mengungguli mereka (sekolah umum).
Madrasah yang Ideal hendaknya menjadi tempat di mana semua peserta didik dapat belajar dengan baik. Dengan kata lain, madrasah harus menjadi lembaga yang adil dengan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang sama (equality of opportunity) baik secara kualitas maupun kuantitas bagi setiap peserta didik. Madrasah diharapkan dapat memainkan peranan penting dalam pembentukan intelektual, emosional dan spiritual anak. Madrasah seharusnya menjadi wadah pemupukan kecerdasan setiap siswa, dan di atas segalanya, menjamin agar setiap peserta didik mendapat kesempatan belajar yang sama dan layak.
Untuk mewujudkan madrasah ideal tersebut, setidaknya ada 3 karakter dasar madrasah yang perlu dikembangkan (Zayadi, 2004), yaitu: memiliki kultur madrasah yang kuat, kepemimpinan kolaboratif dan belajar kolektif serta membiasakan siswa menghadapi perubahan/ketidakpastian. Kultur merupakan jiwa madrasah yang memberi makna bagi setiap kegiatan pendidikan madrasah dan menjadi jembatan antara aktivitas dan hasil yang dicapai. Kultur adalah keadaan yang mengantarkan siswa madrasah melebihi batas-batas kekurangan manusiawi manuju tingkatan kreativitas, seni dan intelektual yang tinggi Kultur juga merupakan kendaraan (vehicle) untuk mentransformasikan nilai-nilai pendidikan. Kultur tersebut adalah kultur belajar, yang mesti dibangun sejak awal agar semua komponen madrasah memiliki komitmen untuk memajukan madrasah.
Kepemimpinan madrasah mesti didefinisikan sebagai proses belajar bersama (collective learning) yang saling menguntungkan serta memungkinkan seluruh unsur masyarakat madrasah berperan serta dalam membangun kesepakatan yang mengakomodasi semua kepentingan (kolektif dan kolaboratif). Kolaborasi bukan saja setiap orang mampu menyelesaikan pekerjaannya, tetapi yang terpenting adalah semuanya dilakukan dalam suasana kebersamaan dan saling mendukung (collegiality and supportiveness). Model kepemimpinan kolaboratif ini sangat relevan dengan tuntutan MBM, ketika setiap madrasah memiliki Komite Madrasah sebagai partner aktif madrasah dalam melakukan perbaikan kualitas madrasah secara terus menerus (continous improvement).
Hidup terus berubah dan semuanya juga ikut berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Secara alami perubahan tidak dapat diprediksi. Agar dapat memahami dan berbuat dalam kondisi yang tidak bisa diprediksi tersebut sebuah upaya pendidikan yang terus menerus (lifelong education) menjadi kemestian. Budaya belajar yang terus menerus harus juga menjadi bagian dari perubahan itu. Madrasah perlu membudayakan masalah belajar terus menerus ini dan menyiapkan siswa untuk menerima dan mampu ambil peran sebagai apapun saat kelak perubahan itu terjadi.
Prinsip Peningkatan Mutu Penyelenggaraan Pendidikan
Untuk mengawali cakrawala baru dalam pembahasan tentang peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan, maka ada baiknya kita merenungkan ungkapan Dean. J (1999); “change is difficult because it may require a rethinking of the values and attitudes that teachers hold abaout the work they do” (perubahan sulit dilaksanakan karena perubahan memerlukan pemikiran ulang tentang nilai dan sikap yang sudah lazim digunakan sebelumnya).
Menilik pada penyelenggaraan pendidikan terutama di madrasah pada waktu lewat dan sekarang yang sedang berlangsung, dapat terlihat bahwa kurikulum yang digunakan di madrasah lebih menitikberatkan pada “content based curriculum” sehingga penyajian mata pelajaran lebih diarahkan pada “academic skill” dan sedikit menyentuh non-konten seperti penumbuhan sikap ilmiah dan pengembangan keterampilan proses. Bertolak dari hal itulah maka secara prinsip peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan pada masa yang akan datang harus lebih diarahkan pada “competency based curriculum” Seyogyanya di samping pembekalan keterampilan akademik yang berdimensi “learning to know” berupa penguasaan materi prasyarat untuk mengikuti pendidikan pada jenjang di atasnya, maka siswa perlu juga diberi keterampilan kehidupan (life skill) yang lebih banyak berdemensi pada learning to do, learning to be, dan learning to live together. (Delors, J, et al. 1996) yang intinya berupaya menyediakan “tool” untuk mempermudah penyesuaiannya terhadap dinamika kehidupan. Oleh karena itu maka profil lulusan secara prinsip diarahkan sebagai “broad competency” yang meliputi penguasaan konsep esensial, peningkatan keterampilan proses, penumbuhan sikap ilmiah, dan pengembangan keterampilan berfikir (thinking skill). Wallahu a’lam…

Rabu, 06 Maret 2013

TRANSFORMASI MASYARAKAT DENGAN METODE ROSULULLAH



METODE ROSULULLAH DALAM TRANSFORMASI MASYARAKAT


Masyarakat adalah dinamis dan berubah dari waktu ke waktu. Sejarah merupakan saksi bagi banyak perubahan masyarakat di dunia ini (1) Negara-negera Eropa berubah dari negara teokrasi ke negara-bangsa yang sekuler. Rusia berubah dari sistem feodal ke sistem komunis, dari komunis berubah menuju kapitalis. Perubahan di Turki dari sebuah negara Islam (Khilafah Islam) menjadi negara republik-sekuler.
Ada beberapa hal yang sama dari beberapa perubahan tersebut. Antara lain, perubahan diatas bersifat revolusioner. Dalam pengertian terjadi perombakan yang mendasar dan menyeluruh dari masyarakat tersebut yang tercermin dalam dasar ideologi negara dan bentuk negara. Perubahan diatas juga, bukanlah perubahan yang sifatnya individual. Dalam pengertian bahwa perubahan itu tidaklah terjadi lewat perubahan dari individu ke individu, sehingga berubahnya individu-individu dalam masyarakat tersebut menyebabkan secara otomatis terjadi perubahan masyarakat.
Perubahan Rusia menjadi negara komunis , bukanlah diawali dari perubahan individu-individu masyarakat Rusia. Namun diawali oleh adanya ide komunis yang dianut oleh sekelompok orang (group of people) yang mengambil alih negara dan merubah masyarakatnya (secara paksa) agar sejalan dan mengikuti ide mereka (komunis). Ketika revolusi Bolsheviks mengambil alih kekuasaan tersebut, kelompok tersebut bukanlah mayoritas dan bukan pula mencerminkan pandangan mayoritas (mayority view). Demikian pula perubahan dari komunis ke kapitalis bukanlah berasal dari bawah (button up), tapi lebih bersifat dari atas (top dawn) dengan perestroika dan glasnot-nya.
Mirip dengan itu , Eropa tidak berubah dari masa kegelapan (the dark age) ke masa pencerahan dengan perubahan dari individu ke individu. Namun perubahan diawali dari munculnya sekelompok orang pemikir dan philosof yang tercerahkan. Mereka melakukan pertarungan pemikiran , mengkritik para bangsawan dan pendeta. Mereka juga secara instens menyadarkan masyarakat tentang kerusakan sistem teokrasi . Sampai kemudian pengaruh mereka berhasil menghantarkan mereka pada kekuasaan. Pertarungan pemikiran dan pengaruh tersebut terjadi terus menerus , sampai kemudian terjadi ‘gerakan massa’, seperti yang terjadi pada revolusi Perancis.
Daulah Khilafah (Turki) berubah menjadi negara sekuler , bukanlah karena kelompok Turki Muda (Young Turk) merubah tiap-tiap individu rakyat. Turki Muda dibawah pimpinan at Tartuk, menguasai Turki setelah didukung oleh kekuatan imperialis Inggris. Dengan cara itu kemudian mereka merombak bentuk negara dan hukum yang berlaku. Masyarakat kemudian dipaksa untuk menerima itu.
Demikian juga perubahan masyarakat yang terjadi di jazirah Arabia yang dipimpin oleh Rosulullah SAW. Muhammad SAW dibawah perintah wahyu, merubah masyarakat kesukuan (tribal society) menjadi masyarakat Islam. Dan kemudian menjadi kekuatan global dunia yang sangat dahsyat.
Pelajaran dari Rosulullah
Berbicara tentang transformasi (perubahan ) masyarakat paling tidak terdapat tiga perkara penting yang harus diamati di dalamnya (2) . Pertama, bagaimana bentuk persoalan pada masyarakat tersebut. Kedua, bagaimana bentuk perubahan yang terjadi yang terjadi. Ketiga, bagaiman bentuk aksi yang dilakukan. Keempat, siapa yang melakukan perubahan. Kita akan menganalisis proses transformasi yang dilakukan oleh Rosulullah dalam empat perkara tersebut.
1. Problem Sosial atau individual ?
Merumuskan terlebih dahulu bentuk problem dalam masyarakat adalah sangat penting, sebelum berbicara tentang perubahan masyarakat yang terencana (planned social change). Kesalahan dalam menentukan problem ini berakibat fatal dalam bentuk perubahan apa yang harus dilakukan . Dan tentunya ini berakibat pada kegagalan.
Bentuk problem itu bisa dibedakan atas dua , sosial dan individual. Problem sosial , berarti perubahannya yang dilakukan juga bersifat menyeluruh (bukan individual). Untuk mengatasi problem sosial, kita perlu mengubah institusi sosial, sistem sosial, dan norma-norma sosial yang sebelumnya berlaku di masyarakat. Singkatnya harus ada perubahan sosial, bukan individual. Sebagai contoh, kalau ditengah masyarakat terdapat beberapa orang yang miskin. Kemungkinan problem yang dihadapi adalah personal . Bisa jadi orang-orang tersebut lemah atau sakit, akibatnya dia tidak bisa bekerja. Atau karena malas. Masalah seperti ini bisa dipecahkan secara personal. Misalnya orang tersebut diberikan santunan rutin. Akan tetapi kalau yang miskin di tengah masyarakat tersebut menyeluruh (hampir sebagian besar) seperti kasus Indonesia , itu adalah problem sosial . Harus dipecahkan secara sosial (kolektif) bukan individual. Pemecahannya adalah dengan mengganti sistem kapitalisme yang menyebabkan kemiskinan masyarakat tersebut.
Melihat problem yang dihadapi Rosulullah saat beliau diutus sebagai Rosul di Mekkah adalah problem sosial. Kerusakan terjadi pada masyarakat Arab hampir diseluruh aspek kehidupan. Mereka memiliki keyakinan yang rendahan seperti menyembah pada selain dari Allah . Pandangan hidup mereka juga dangkal dan sempit, hanya sebatas dunia. Mereka juga diikat oleh ikatan-ikatan yang rapuh dan busuk, seperti kesukuan atau ikatan kepentinganan. Sangat sering terjadi perselisihan akibat persoalan kesukuan ini. Ukuran baik dan buruk adalah kemanfaatan yang memuaskan egoisme dan hawa nafsu. Tradisi-tradisi yang berkembang juga sangat tidak sesuai dengan fitrah manusia. Dengan alasan malu dan takut miskin mereka membunuh anak-anak perempuan mereka. Kemiskinan merajalela. Penindasan penguasa terhadap yang miskin dan lemah terjadi dimana-mana. Kemaksiatan juga berkembang dalam berbagai bentuknya. Penipuan dan kecurangan dalam perdagangan dan kriminalistas demikian tinggi. Ini berarti problem yang dihadapi Rosulullah adalah problem sosial.
Hal yang sama terjadi di Indonesia saat ini. Bisa disebut hampir seluruh aspek kehidupan mengalami kemunduran dan kerusakan. Sehingga persoalan Indonesia adalah problem sosial, bukan masalah individual.
2. Perubahan parsial/personal atau perubahan menyeluruh menyeluruh ?
Melihat persoalan yang dihadapi oleh Rosulullah merupakan problem sosial, maka sangatlah beralasan kalau perubahan yang dilakukan oleh Rosulullah juga adalah perubahan sosial yang mendasar dan menyeluruh bukan individual dan parsial . Lewat bimbingan wahyu Rosulullah melakukan perubahan secara menyeluruh dan mendasar (inqilabiyah ) bukan individual dan parsial . Rosulullah juga bukan merubah individu masyarakat satu persatu, atau menunggu individu masyarakat Mekkah berubah dulu semua. Berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rosullah , pandangan perubahan gradual dari individu, keluarga, masyarakat kemudian negara tidak terbukti sama sekali.
Rosulullah mengawali perubahan masyarakat dengan merubah keyakinan mendasar mereka (aqidah). Aqidah Islam ini kemudia menjadi dasar dari perubahan individu maupun masyarakat (spritual maupun politis). Rosulullah juga melakukan perubahan nilai-nilai dan hukum yang berlaku di Masyarakat secara menyeluruh. Perkara penting lain yang dilakukan oleh Rosulullah adalah merubah struktur pemerintahan pada waktu itu, menjadi pemerintahan dan bentuk negara yang didasarkan pada Islam. Perubahan ini sangat penting karena negara dan pemerintahan adalah penguasa yang akan menerapkan seluruh hukum dan menjaga nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat secara menyeluruh.
3. Aksi reformasi individual atau kolektif ?
Perubahan yang menyeluruh tentunya menuntut aksi pemecahan yang menyeluruh juga, tidak bisa secara individual atau parsial.
Melihat perubahan yang harus dilakukan oleh Rosulullah adalah perubahan yang menyeluruh , aksi yang dilakukan juga tentunya bukanlah aksi individual. Dalam pengertian Rosullah bukanlah menunggu perubahan individu seluruh masyarakat terlebih dahulu. Tidak ditemukan bukti sama sekali bahwa Rosululah melakukan perubahan dari satu individu ke individu yang lain , sampai seluruh masyarakat Makkah pada waktu itu menjadi muslim.
Ketika Rosululah mendapat tanggung jawab untuk menyebarluaskan Islam, saat itu Rosulullah saw mengumpulkan orang-orang disekitarnya yang mengimani misi kenabian yang dibawanya. Rosulullah SAW mengajak masyarakat tanpa menunggu terlebih dahulu seluruh keluarganya atau sanak saudaranya untuk mengimani misi kerosullannya terlebih dahulu. Rosul misalnya tidak menunggu pamannya Abu Thalib masuk Islam dulu, baru kemudian dakwah ke luar keluarga.
Rosulullah saw ketika memulai dakwahnya di Mekkah, namun tidak menunggu seluruh individu masyarakat Mekkah mengimaninya . Rosul juga mengajak orang-orang di luar Makkah untuk mengimani risalahnya, seperti pemuka-pemuka Madinah atau Thaif. Bahkan ketika Rosulullah menegakkah negara Islam di Madinah, tidak semua penduduk Madinah beragama Islam. Pada waktu itu Madinah dihuni oleh tiga kelompok besar. Pertama, kelompok muslim dari kalangan Muhajiran dan Anshor. Jumlah mereka mendominasi penduduk Madinah. Kedua, kelompok musrik yang terdiri dari Bani Aus dan Khajraj yang belum memeluk agama Islam. Ketiga, kelompok Yahudi yang terbagi dalam empat golongan . Satu bermukim dipusat kota Madinah(Bani Qainuqa) , dan tiga golongan lainnya bermukim di pinggiran kota Madinah (Bani Nadhir, Khaibar, dan Quraizhah) . Dengan demikian tidak ada bukti untuk mengatakan bahwa Rosulullah SAW merubah masyarakat dengan perubahan dari individu ke individu.
3. Kelompok ritual-sosial atau kelompok ideologis-politik ?
Setiap perubahan pastilah memerlukan agen perubahan (chance agency). Perubahan yang bersifat menyeluruh mulai dari akar , landasan masyarakat dan pemerintahan , nilai-nilai dan sistem hukum , sampai instutusi negara dan pemerintahan , tentunya membutuhkan agen perubahan yang bersifat ideologis-politik. Agen ini bersifat ideologi karena dia melakukan perombakan terhadap seluruh tatanan nilai sampai aturan yang praktis di sebuah masyrakat. Bersifat politik karena perubahan ini dalam konteks perubahan pengaturan masyarakat secara menyeluruh yang membutuhkan kekuasaan oleh satu institusi negara. Karena itu dalam sejarah perubahan yang terjadi di Eropa dari teokrasi ke sekuler, di Rusia dari feodal ke komunis dilakukan oleh agen-agen perubahan yang bersifat ideologis-politis. Bukan kelompok-kelompok ritual- sosial.
Demikian pula yang dilakukan oleh Rosullah bersama sahabat-sahabatnya. Kelompok Rosulullah adalah kelompok yang bersifat ideologis-politik sehingga bisa disebut sebagai partai politik . Hal ini karena Rosulullah melakukan perubahan yang menyeluruh dan mendasar dari pandangan hidup , nilai-nilai masyarakat , aturan masyarakat, sampai institusi-institusi politik maupun sosial di masyarakat pada waktu itu. Dalam ilmu sosiologi apa yang dilakukan oleh Rosulullah ini sering disebut revolusi(3)

Fakta Masyarakat

Untuk lebih memahami perubahan masyarakat mendasar dan menyeluruh yang dilakukan Rosulullah, perlu dipahami terlebih dahulu fakta dari sebuah masyarakat. Kesalahan memahami fakta masyakat bisa berakibat pada kesalahan dalam merubah masyarakat tersebut. Pada dasarnya , dalam sebuah masyrakat individu-individu tidak akan bisa banyak mempengaruh masyakat, akan tetapi masyarakatlah yang mempengaruhi individu tersebut.
Imam Ali bin Abi Thalib dalam salah satu khutbahnya, dalam Nahjul Balaghah menjelaskan:”Hai manusia, sesungguhnya yang membentuk suatu masyarakat adalah perasaan bersama untuk setuju dan tidak setuju. Sungguh, hanya satu orang yang telah membunuh unta betina Tsamud, tetapi Allah menghukum mereka semua, sebab mereka mengiyakan perbuatannya. Maka Allah SWT berfirman : Mereka membunuhnya, lalu mereka menyesal (QS 26:157) Eksistensi masyarakat berimplikasi eksistensi masalah masyarakat (social problem), Karen itu tidak mungkin akan memecahkan masalah masyarakat dengan memecahkan permasalahan individual. (Jalaluddin Rahmat, Rekayasa Sosial , hlm viii)
Bukti bahwa keberadaan kumpulan individi-individu tidak otomatis merubah masyarakat, bisa dilihat dari banyaknya pemuda-pemuda Islam yang tinggal di masyrakat non muslim seperti Eropa. Mereka meskipun banyak tetap tidak bisa merubah masyarakat Eropa yang sekuler. Bahkan sebaliknya, banyak diantara mereka yang justru dipengaruhi oleh kehidupan sekuler dari masyarakat Eropa.
Masyarakat bukanlah semata-mata kumpulan individu-individu, sehingga kalau individu tersebut baik otomatis masyarakat akan berubah. Sekelompok individu yang berkumpul tidaklah lantas membentuk masyarakat. Limapuluh ribu orang yang berada di stadion sepakbola tidaklah membentuk masyarakat (society) . Mereka baru bisa disebut kerumunan atau dalam bahasa sosiologi disebut crowd (kerumunan) . Sementara itu limapuluh ribu orang yang tinggal disebuah kota, bisa disebut masyarakat. Berbeda halnya dengan crowd tadi , sekumpulan individu ini melakukan interaksi bersama dan hubungan (relationship) yang didasarkan pada pemikiran pemikiran dan perasaan yang sama. Interaksi ini kemudian diatur oleh sebuah otoritas yang berwenang (berupa aturan-aturan yang diterapkan oleh negara), yang juga didasarkan pada pemikiran yang sama. Dengan demikian masyakat merupakan sekompok orang yang diikat bersama-sama oleh pemikiran dan perasaan bersama tertentu (common though and sentiments) yang diatur oleh seperangkat aturan oleh lembaga yang berwenang (seperti negara).
Karena masyarakat bukanlah semata-mata kumpulan individu, tentunya masyarakat tidak bisa diubah hanya dengan merubah individu-individu tersebut. Namun haruslah ada perubahan terhadap pemikiran, perasaan, berikut aturan-aturan bersama di tengah-tengah masyarakat tersebut. Jika masyarakat diikat oleh pemikiran dan perasaan bersama yang diatur oleh negara atau pemerintah, maka jika pemikiran dan perasaan bersama itu berubah akan berubah pula masyarakat tersebut berikut aturan-aturannya. Demikianlah yang dilakukan oleh Rosullah SAW ketika merubah masyrakat sampai tegaknya Daulah Islam di Madinah.

Perubahan yang dilakukan Rosulullah

Melihat dari kehidupan Rosulullah saw kita menemukan metode yang dia lakukan sesuai dengan fakta masyarakat diatas. Rosulullah saw mulai dengan mengumpulkan orang disekitarnya selama tiga tahun. Dia membimbing mereka di al Arqom secara mendalam tentang Islam. Setelah masa tiga tahun tersebut Allah SWT memerintahkan Rosulullah untuk terjun langsung ke masyarakat. Memasuki tahap interaksi langsung secara terbuka di tengah masyarakat (Al Hijr-94)
Sejak perintah ini turun Rosulullah SAW mulai menyerang ide-ide rusak yang berkembang di tengah masyarakat pada waktu itu, seperti mengubur bayi wanita karena malu, kecurangan dalam perdagangan, mengambil riba, membabibuta mengikuti keyakinan para pendahulu mereka (nenek moyang ) dan banyak lagi. Adalah penting untuk diperhatikan bahwa saat itu Rosullah mengubah ide-ide masyarakat yang rusak, Rosulullah tidak melakukan aksi praktis secara langsung atau kekerasan bersenjata. Apa yang dilakukan oleh Rosulullah adalah menyerang dan merubah ide-ide mapan yang selama ini diyakini dan dipegang teguh oleh masyarakat. Wajar kalau kemudian muncul perlawanan terhadap tindakan rosulullah ini terutama oleh para pemimpin-pemimpin masayrakat pada waktu itu.
Pada masa 12 tahun kenabiannya Rosulullah SAW mengirim Musab ibn Umair ke Madinah. Dia melakukan perubahan ide-ide umum yang berkembang di Madinah menuju ide-ide Islam. Berbeda dengan Mekkah, masyakat Madinah tidak anti Islam , mereka kemudian menerima Islam. Masyakat Madinah bukanlah masyarakat yang sempurna semua, tidak semua dari mereka memeluk Islam, disana juga terdapat Abdullah bin Ubay yang sangat anti Islam. namun Islam bisa diterima sebagai pemikiran umum dan perasaan umum di tengah masyarakat Madinah. Rosulullah kemudian hijrah ke Madinah menjadi kepala negara di sana dengan menerapkan hukum-hukum Islam. Penerimaan Rosulullah sebagai kepala negara setelah sebelumnya tokoh-tokoh masyarakat (elit-elit politik) dari suku Auz dan Khazraj menerima Rosulullah dan menyerahkan kekuasaan kepada Rosulullah. Jadi dengan merubah pemikiran umum dan mengambil kekuasaan , Rosullah berhasil merubah masyarakat Madinah dengan kepercayaan dan nilai-nilai Islam. Dalam perkembangannya kemudian juta-an orang kemudian masuk Islam dan tunduk kepada sistem Islam.
Kesimpulannya, merubah masyarakat tidak bisa dengan hanya mengubah individunya. Karena masyarakat bukanlah sekedar kumpulan individu. Masyarakat terdiri dari individu-individu yang diikat bersama oleh pemikiran umum tertentu yang ditegakkan dan disebarluaskan oleh negara. Rosullah tidak melakukan perubahan dari individu ke individu , atau menunggu seluruh individu berubah terlebih dahulu, tapi Rosullah melakukan perubahan pemikiran dan perasaan di tengah masyarakat yang kemudian ditegakkan dan dipelihara dengan kekuasaannya sebagai kepala negara. 


Catatan kaki:
(1) Filsuf sosial Jerman Oswald Spengler, berpandangan bahwa setiap peradaban besar menjalani peroses penahapan kelahiran, pertumbuhan dan keruntuhan.
(2) Philip Kotler memberikan defenisi yang bagus tentang problem sosial, perubahan sosial dan aksi sosial.
- Problem sosial :kondisi tertentu dalam masyarakat yang dianggap tidak enak atau mengganggu oleh sebagian anggota masyarakat dan dianggap dapat dikurangi atau dihilangkan melalu upaya bersama (kolektif)
- Perubahan sosial. Terjadinya perubahan bentuk dan fungsionalisasi kelompok. Lembaga, atau tatanan sosial yang penting.
- Aksi sosial. Tindakan kolektif untuk mengurangi atau mengatasi masalah sosial (lihat Jalaluddin Rahmat , Rekayasa Sosial hlm. 82)
(3) Bandingkan dengan pendapat yang menjelaskan situasi revolusi. Situasi revolusi terjadi apabila:
- Pada sebuah polity muncul para penantang (oposisi politik atau disiden) yang mengajukan klaim untuk menguasai pemerintahan. Pada tahap ini muncul ideologi dan pemimpin revolusi. Biasanya pemimpin revolusi ini terdiri dari para cendikiawan atau pemimpin kharismatis
- Para pemimpin revolusi memperoleh dukungan dari sejumlah besar populasi, dalam bentuk perkataan, tindakan dan sumbangan sumber daya.
- Pemerintah tidak lagi dapat menguasai para penantang.(lihat Jalaluddin Rahmat , Rekayasa sosial hlm 210)