Sabtu, 02 Maret 2013

Tujuan Hidup Manusia dalam Kehidupan



TUJUAN HIDUP MANUSIA


Dalam mengarungi hidupnya, manusia harus memiliki tujuan yang pasti. Kehidupan yang hanya sebentar di dunia ini akan membuahkan hasil kelak di alam baka. Hasil yang dipetik tentu sesuai dengan segala apa yang dijalaninya selama hidup di dunia. Untuk mengetahui tujuan hidup hakikinya di alam fana ini, manusia harus kembali pada Sang Pemilik alam ini. Artinya, manusia harus mengenal al-Khaliq yang telah mencipta alam semesta beserta segala isinya. Apakah Dia punya tujuan tersendiri dalam mewujudkan alam semesta, termasuk manusia? Program apa yang dimiliki al-Khaliq dalam penciptaan-Nya? Ataukah Dia tak punya tujuan sama sekali?

Manusia yang dibebani tanggung jawab, harus mampu menjawab pertanyaan di atas, demi mengenali tujuan hidup dan memiliki nilai keberadaannya. Manusia dapat menjawab pertanyaan di atas tatkala dirinya menyadari bahwa seluruh eksistensi di jagat alam ini tak lain bersumber dari keinginan-Nya. Untuk itu, terdapat beberapa pendahuluan yang harus kita lewati, agar mampu menjawab seluruh pertanyaan di atas, sekaligus menghasilkan konklusi yang benar dan sahih.
           
Pertama, Pencipta seluruh alam semesta mustahil tak punya tujuan dalam mencipta. Sebab, kesempurnaan-Nya justru mengindikasikan adanya tujuan dalam penciptaan alam semesta ini. Tentu, suatu pekerjaan yang tak memiliki nilai dan tujuan sama saja dengan kesia-siaan yang bersumber dari adanya kekurangan. Sesuatu yang memiliki kekurangan niscaya selalu membutuhkan penyempurna demi menutupi segenap kekurangan dirinya. Dengan demikian, Pencipta alam semesta yang memiliki kesempuarnaan dan tak punya kekurangan pasti mempunyai tujuan dalam penciptaan-Nya. Allah Swt berfirman:

Maka apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara sia-sia (main-main), dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? (QS. al-Mu’minun: 115).

Kedua, dengan memiliki tujuan, maka sudah tentu tujuan yang dimiliki-Nya merupakan sesuatu yang baik dan maslahat bagi makhluk-Nya, berupa kasih sayang-Nya pada setiap makhluk-Nya. Kasih sayang (rahmat) yang Dia berikan tak lain dari seluruh fasilitas yang dapat digunakan makhluk-Nya guna menutupi kekurangannya. Sebagai contoh, manusia memiliki anggota tubuh yang satu sama lain saling melengkapi dalam melaksanakan fungsinya sehingga manusia dapat meraih keinginannya. Bertolak dari semua ini, maka seluruh makhluk, khususnya manusia diciptakan demi melangkah menuju kesempurnaan yang selaras dengan keinginan-Nya. Allah berfirman dalam kitab-Nya:

Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.

Kata “kecuali untuk beribadah” dalam ayat ini—sebagaimana dikatakan dalam Tafsir Mizân—adalah bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia tak ada lain kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah yang diinginkan Allah Swt adalah ketundukan seorang hamba kepada-Nya dalam melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Dalam kehidupannya di dunia, manusia tentu mustahil diberi perintah dan larangan oleh-Nya—sebagai tujuan penciptaan, yaitu beribadah—bila saja Dia tidak menganugrahkan  fasilitas yang memang dibutuhkan manusia untuk itu. Fasilitas ini sudah merupakan anugrah Allah yang pasti diberikan kepada manusia sebagai cermin dari sifat ar-Rahmân (kasih sayang) dan keadilan-Nya. Inilah yang disebut luthuf Allah Swt. Syahid Muthahari mendefinisikan luthuf sebagai sesuatu yang mendekatkan hamba untuk taat kepada-Nya sekaligus menjauhkannya dari bermaksiat kepada-Nya. Dengan demikian, Allah Swt telah memenuhi seluruh kebutuhan manusia dalam kehidupannya di dunia fana ini.

Sekalipun begitu, tak jarang manusia tidak mengetahui fasilitas apa saja yang telah dianugrahkan Allah baginya. Akibatnya,  ibadah yang dipraktekkannya tidak lagi sesuai dengan yang diinginkan-Nya. Tentunya seluruh manusia yang mengimani keberadaan-Nya mengharap ridha-Nya. Namun banyak di antaranya yang tidak mengetahui prasyarat-prasyarat untuk meraihnya. Sehingga, jangan heran bila  pada prinsipnya manusia meyakini adanya tujuan hidup, namun tidak menggunakan fasilitas dimaksud sesuai dengan keinginan-Nya. Akhirnya, bila itu yang terjadi, maka kehidupan yang diarunginya tak akan diguyur ridha-Nya.

Dua Anugerah Ilahi


Hakikatnya kehidupan di alam fana ini ibarat sebuah halte penghentian; hanya sebagai tempat lewat. Sebuah hadis mengatakan bahwa dunia ini hanyalah tempat melintas yang tidak langgeng. Kehidupan di dunia ini hanya bagian dari sebuah perjalanan pendek menuju satu titik, alam akhirat. Muara akhir perjalanan yang diinginkan manusia tentunya adalah kebahagiaan dan kesempurnaan di akhirat, yang tentunya bergantung pada kondisi kehidupannya di dunia. Dunia merupakan ladang untuk bercocok tanam yang kelak di panen akhirat. Sebuah hadis mengatakan, “Di sini (dunia) amal tanpa hisab, dan di sana (akhirat) hisab tanpa amal.” 

Sekarang ini, manusia sedang melangkah menuju Allah Swt. Dalam pada itu, banyak sekali rintangan dan cobaan yang harus ditempuh dengan susah payah. Salah satu firman-Nya mengatakan:

Hai manusia, sesungguhnya kamu bersusah payah dengan bersungguh-sungguh menuju kepada Tuhanmu, maka kamu pasti akan menemui-Nya. (QS. al-Insyiqaq: 6)

Nabi Ibrahim Khalilullah as, selama hidup di dunia—sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran—banyak menghadapi rintangan, cobaan, dan ujian. Beliau diberi cobaan, misalnya, dengan tidak dikaruniai anak hingga berusia lanjut. Lalu beliau diperintahkan untuk membawa sang anak—yang masih menyusu—bersama ibunya ke sebuah tempat gersang dan tandus (sekarang Makkah ), untuk kemudian ditinggalkan sesuai perintah Allah. Belum selesai dengan itu, beliau kembali diuji dengan perintah untuk menyembelih putranya sendiri (yang kemudian anak itu diganti Allah dengan seekor kambing). Semua itu merupakan ujian dan latihan Nabi Ibrahim as yang dihadapinya di dunia ini. Sampai akhirnya, beliau sukses mengatasi semua itu dengan kesabaran dan ketegaran. Berkat itu, beliau lalu diberi kedudukan oleh Allah Swt sebagai imam:

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (larangan dan perintah), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.”

Alhasil, selain kisah di atas, masih banyak lagi kisah bersejarah lainnya yang sama dalam al-Quran. Semua itu menunjukkan bagaimana mereka tunduk dan taat kepada-Nya, sampai-sampai rela menjual jiwanya dan menumpahkan darahnya demi memenuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sehingga tegak agama Allah.

Manusia tentu harus mencari jalan yang benar untuk ditempuhnya. Apalagi untuk menuju Allah Swt. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, Allah tak mungkin memberi perintah dan larangan tanpa memberi fasilitas pendukungnya. Keniscayaan ini berumber dari Sifat adil-Nya. Fasilitas yang pertama adalah akal yang dianugrahkan kepada setiap manusia. Dengannya, manusia mampu berpikir sekaligus membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Karenanya, akal berfungsi sebagai cahaya penerang hidup manusia. Melalui akal, manusia mampu mengetahui hukum sebab akibat yang berlaku di jagat raya ini; yang darinya ia mengetahui keberadaan Sang Pencipta alam semesta. Akal dianugrahkan kepada setiap insan tanpa peduli apakah ia beragama atau tidak. Keagungan karunia Allah ini sungguh luar biasa. Karenanya, manusia wajib bersyukur kepada-Nya (justru menurut akal sendiri, manusia sudah sepantasnya untuk bersyukur). Kalau memahami bahwa seluruh keberadaan di alam ini merupakan akibat dari Penyebab segala sebab, yaitu Allah Swt, maka logisnya, siapapun tak dapat memungkiri keharusan untuk bersyukur kepada-Nya. Toh, ketika seseorang dihadiahi sesuatu oleh orang lain, sudah sewajarnya ia berterimakasih.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akal—selain sebagai ihwal manusia disebut sempurna, juga—merupakan bekal hidup manusia dalam melangkah menuju kesempurnaan. Namun begitu, fungsi akal tetap terbatas sesuai kadar penciptaan-Nya. Karenanya, Allah menganugrahkan fasilitas kedua berupa wahyu yang tidak diberikan kepada setiap manusia, melainkan kepada seseorang atau beberapa orang yang menurut ukuran-Nya, layak menerimanya. Merekalah para nabi dan rasul. Wahyu berfusebagai penuntun perjalanan di dunia ini. Wahyu tak lain dari pesan-pesan dan hukum-hukum Ilahi. Jelasnya, wahyu adalah keinginan Allah Swt yang menerangkan tatacara menyembah kepada-Nya.

Berdasarkan uraian di atas, maka tak dapat disangkal bahwa kedua fasilitas ini harus dijadikan bekal perjalalan menuju Allah Swt (bukan hanya salah satu, misalnya, akal saja). Akal memang mampu menyimpulkan bahwa manusia wajib bersyukur kepada Allah Swt yang telah menganugrahkan seluruh kenikmatan hidup. Namun, daya akal hanya sampai di sini. Ia tak mampu mengetahui sejauh mana dan bagaimana cara berterima kasih kepada-Nya. Karenanya, mengingat penciptaan manusia tak lain ditujukan untuk beribadah, Allah Swt lantas menurunkan wahyu melalui nabi atau rasul yang pada gilirannya disebarkan ke tangah umat manusia; demi menerangkan bagaimana beribadah dan bersyukur yang layak kepada-Nya. Bila Allah Swt mengutus Nabi Adam hingga Rasulullah saw untuk mengemban misi tauhid (mengesakan-Nya), lalu bagaimana cara bertauhid kepada-Nya agar sesuai dengan keinginan-Nya? Di sinilah wahyu Allah berperan; memberi keterangan tentang bagaimana cara bertauhid yang diinginkan-Nya.

Kedua fasilitas ini harus dijadikan pegangan hidup; jangan mengutamakan  yang satu dan mengabaikan yang lain. Kendati begitu, banyak juga manusia yang lalai dan menyalahgunakan fasilitas ini yang karenanya, sadar atau tidak, telah menentang keinginan-Nya. Mereka adalah orang-orang yang digolongkan sebagai hamba-hamba yang tidak bersyukur kepada-Nya. Allah berfirman:

Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih. (QS. Saba: 13)
           
Allah Swt dengan tegas menyatakan dalam al-Quran bahwa manusia harus berpikir, seraya merenungkan segenap apa yang dilihat dan dirasakannya. Selanjutnya, al-Quran juga menyuruh manusia menyerahkan seluruh masalah dunia dan akhiratnya kepada seseorang yang menyandang sifat agung dan mulia. Dialah sosok yang tak satu makhluk pun yang mampu menyifatinya kecuali Penciptanya sendiri, Allah Swt. Dialah orang yang tak mengatakan apapun kecuali wahyu dari-Nya; yang tak melakukan apapun kecuali selaras dengan keinginan-Nya; ketetapannya adalah hukum, sekaligus menjadi penjelas hukum-hukum-Nya; komandan perang melawan seluruh musuh-Nya. Dengan semua itu, ia berhak menuntut ketaatan kita terhadap seluruh perintah dan larangannya. Sebaliknya, membangkangnya adalah kemaksiatan pada-Nya. Dialah Muhammad bin Abdullah saww, sang penutup kenabian, pemimpin seluruh utusan-Nya, teladan ummatnya, serta penuntun jalan menuju-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar