TUJUAN HIDUP MANUSIA
Dalam mengarungi hidupnya, manusia harus memiliki tujuan
yang pasti. Kehidupan yang hanya sebentar di dunia ini akan membuahkan hasil
kelak di alam baka. Hasil yang dipetik tentu sesuai dengan segala apa yang
dijalaninya selama hidup di dunia. Untuk mengetahui tujuan hidup hakikinya di
alam fana ini, manusia harus kembali pada Sang Pemilik alam ini. Artinya,
manusia harus mengenal al-Khaliq yang telah mencipta alam semesta beserta
segala isinya. Apakah Dia punya tujuan tersendiri dalam mewujudkan alam
semesta, termasuk manusia? Program apa yang dimiliki al-Khaliq dalam
penciptaan-Nya? Ataukah Dia tak punya tujuan sama sekali?
Manusia yang dibebani tanggung jawab, harus mampu
menjawab pertanyaan di atas, demi mengenali tujuan hidup dan memiliki nilai
keberadaannya. Manusia dapat menjawab pertanyaan di atas tatkala dirinya
menyadari bahwa seluruh eksistensi di jagat alam ini tak lain bersumber dari
keinginan-Nya. Untuk itu, terdapat beberapa pendahuluan yang harus kita lewati,
agar mampu menjawab seluruh pertanyaan di atas, sekaligus menghasilkan konklusi
yang benar dan sahih.
Pertama, Pencipta seluruh alam semesta mustahil tak
punya tujuan dalam mencipta. Sebab, kesempurnaan-Nya justru mengindikasikan
adanya tujuan dalam penciptaan alam semesta ini. Tentu, suatu pekerjaan yang
tak memiliki nilai dan tujuan sama saja dengan kesia-siaan yang bersumber dari
adanya kekurangan. Sesuatu yang memiliki kekurangan niscaya selalu membutuhkan
penyempurna demi menutupi segenap kekurangan dirinya. Dengan demikian, Pencipta
alam semesta yang memiliki kesempuarnaan dan tak punya kekurangan pasti
mempunyai tujuan dalam penciptaan-Nya. Allah Swt berfirman:
Maka apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami
menciptakan kalian secara sia-sia (main-main), dan bahwa kalian tidak akan
dikembalikan kepada Kami? (QS.
al-Mu’minun: 115).
Kedua, dengan memiliki tujuan, maka sudah tentu tujuan
yang dimiliki-Nya merupakan sesuatu yang baik dan maslahat bagi makhluk-Nya,
berupa kasih sayang-Nya pada setiap makhluk-Nya. Kasih sayang (rahmat) yang Dia
berikan tak lain dari seluruh fasilitas yang dapat digunakan makhluk-Nya guna
menutupi kekurangannya. Sebagai contoh, manusia memiliki anggota tubuh yang
satu sama lain saling melengkapi dalam melaksanakan fungsinya sehingga manusia
dapat meraih keinginannya. Bertolak dari semua ini, maka seluruh makhluk,
khususnya manusia diciptakan demi melangkah menuju kesempurnaan yang selaras
dengan keinginan-Nya. Allah berfirman dalam kitab-Nya:
Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk
beribadah.
Kata “kecuali untuk beribadah” dalam ayat
ini—sebagaimana dikatakan dalam Tafsir Mizân—adalah bahwa tujuan penciptaan jin
dan manusia tak ada lain kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah yang
diinginkan Allah Swt adalah ketundukan seorang hamba kepada-Nya dalam melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam kehidupannya di dunia, manusia tentu mustahil
diberi perintah dan larangan oleh-Nya—sebagai tujuan penciptaan, yaitu
beribadah—bila saja Dia tidak menganugrahkan
fasilitas yang memang dibutuhkan manusia untuk itu. Fasilitas ini sudah
merupakan anugrah Allah yang pasti diberikan kepada manusia sebagai cermin dari
sifat ar-Rahmân (kasih sayang) dan keadilan-Nya. Inilah yang disebut luthuf
Allah Swt. Syahid Muthahari mendefinisikan luthuf sebagai sesuatu yang
mendekatkan hamba untuk taat kepada-Nya sekaligus menjauhkannya dari bermaksiat
kepada-Nya. Dengan demikian, Allah Swt telah memenuhi seluruh kebutuhan manusia
dalam kehidupannya di dunia fana ini.
Sekalipun begitu, tak jarang manusia tidak mengetahui
fasilitas apa saja yang telah dianugrahkan Allah baginya. Akibatnya, ibadah yang dipraktekkannya tidak lagi sesuai
dengan yang diinginkan-Nya. Tentunya seluruh manusia yang mengimani
keberadaan-Nya mengharap ridha-Nya. Namun banyak di antaranya yang tidak
mengetahui prasyarat-prasyarat untuk meraihnya. Sehingga, jangan heran
bila pada prinsipnya manusia meyakini
adanya tujuan hidup, namun tidak menggunakan fasilitas dimaksud sesuai dengan
keinginan-Nya. Akhirnya, bila itu yang terjadi, maka kehidupan yang diarunginya
tak akan diguyur ridha-Nya.
Dua Anugerah Ilahi
Hakikatnya kehidupan di alam fana ini ibarat sebuah
halte penghentian; hanya sebagai tempat lewat. Sebuah hadis mengatakan bahwa
dunia ini hanyalah tempat melintas yang tidak langgeng. Kehidupan di dunia ini
hanya bagian dari sebuah perjalanan pendek menuju satu titik, alam akhirat.
Muara akhir perjalanan yang diinginkan manusia tentunya adalah kebahagiaan dan
kesempurnaan di akhirat, yang tentunya bergantung pada kondisi kehidupannya di
dunia. Dunia merupakan ladang untuk bercocok tanam yang kelak di panen akhirat.
Sebuah hadis mengatakan, “Di sini (dunia) amal tanpa hisab, dan di sana
(akhirat) hisab tanpa amal.”
Sekarang ini, manusia sedang melangkah menuju Allah Swt.
Dalam pada itu, banyak sekali rintangan dan cobaan yang harus ditempuh dengan
susah payah. Salah satu firman-Nya mengatakan:
Hai
manusia, sesungguhnya kamu bersusah payah dengan bersungguh-sungguh menuju
kepada Tuhanmu, maka kamu pasti akan menemui-Nya. (QS. al-Insyiqaq: 6)
Nabi Ibrahim Khalilullah as, selama hidup di
dunia—sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran—banyak menghadapi rintangan,
cobaan, dan ujian. Beliau diberi cobaan, misalnya, dengan tidak dikaruniai anak
hingga berusia lanjut. Lalu beliau diperintahkan untuk membawa sang anak—yang
masih menyusu—bersama ibunya ke sebuah tempat gersang dan tandus (sekarang
Makkah ), untuk kemudian ditinggalkan sesuai perintah Allah. Belum selesai
dengan itu, beliau kembali diuji dengan perintah untuk menyembelih putranya
sendiri (yang kemudian anak itu diganti Allah dengan seekor kambing). Semua itu
merupakan ujian dan latihan Nabi Ibrahim as yang dihadapinya di dunia ini.
Sampai akhirnya, beliau sukses mengatasi semua itu dengan kesabaran dan
ketegaran. Berkat itu, beliau lalu diberi kedudukan oleh Allah Swt sebagai
imam:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan
beberapa kalimat (larangan dan perintah), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah
berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.”
Alhasil, selain kisah di atas, masih banyak lagi kisah
bersejarah lainnya yang sama dalam al-Quran. Semua itu menunjukkan bagaimana
mereka tunduk dan taat kepada-Nya, sampai-sampai rela menjual jiwanya dan
menumpahkan darahnya demi memenuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya
sehingga tegak agama Allah.
Manusia tentu harus mencari jalan yang benar untuk
ditempuhnya. Apalagi untuk menuju Allah Swt. Sebagaimana dikatakan sebelumnya,
Allah tak mungkin memberi perintah dan larangan tanpa memberi fasilitas
pendukungnya. Keniscayaan ini berumber dari Sifat adil-Nya. Fasilitas yang
pertama adalah akal yang dianugrahkan kepada setiap manusia. Dengannya, manusia
mampu berpikir sekaligus membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Karenanya, akal berfungsi sebagai cahaya penerang hidup manusia. Melalui akal,
manusia mampu mengetahui hukum sebab akibat yang berlaku di jagat raya ini;
yang darinya ia mengetahui keberadaan Sang Pencipta alam semesta. Akal
dianugrahkan kepada setiap insan tanpa peduli apakah ia beragama atau tidak.
Keagungan karunia Allah ini sungguh luar biasa. Karenanya, manusia wajib
bersyukur kepada-Nya (justru menurut akal sendiri, manusia sudah sepantasnya
untuk bersyukur). Kalau memahami bahwa seluruh keberadaan di alam ini merupakan
akibat dari Penyebab segala sebab, yaitu Allah Swt, maka logisnya, siapapun tak
dapat memungkiri keharusan untuk bersyukur kepada-Nya. Toh, ketika seseorang
dihadiahi sesuatu oleh orang lain, sudah sewajarnya ia berterimakasih.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akal—selain
sebagai ihwal manusia disebut sempurna, juga—merupakan bekal hidup manusia
dalam melangkah menuju kesempurnaan. Namun begitu, fungsi akal tetap terbatas
sesuai kadar penciptaan-Nya. Karenanya, Allah menganugrahkan fasilitas kedua
berupa wahyu yang tidak diberikan kepada setiap manusia, melainkan kepada
seseorang atau beberapa orang yang menurut ukuran-Nya, layak menerimanya.
Merekalah para nabi dan rasul. Wahyu berfusebagai penuntun perjalanan di dunia
ini. Wahyu tak lain dari pesan-pesan dan hukum-hukum Ilahi. Jelasnya, wahyu
adalah keinginan Allah Swt yang menerangkan tatacara menyembah kepada-Nya.
Berdasarkan uraian di atas, maka tak dapat disangkal
bahwa kedua fasilitas ini harus dijadikan bekal perjalalan menuju Allah Swt
(bukan hanya salah satu, misalnya, akal saja). Akal memang mampu menyimpulkan
bahwa manusia wajib bersyukur kepada Allah Swt yang telah menganugrahkan
seluruh kenikmatan hidup. Namun, daya akal hanya sampai di sini. Ia tak mampu
mengetahui sejauh mana dan bagaimana cara berterima kasih kepada-Nya.
Karenanya, mengingat penciptaan manusia tak lain ditujukan untuk beribadah,
Allah Swt lantas menurunkan wahyu melalui nabi atau rasul yang pada gilirannya
disebarkan ke tangah umat manusia; demi menerangkan bagaimana beribadah dan
bersyukur yang layak kepada-Nya. Bila Allah Swt mengutus Nabi Adam hingga
Rasulullah saw untuk mengemban misi tauhid (mengesakan-Nya), lalu bagaimana
cara bertauhid kepada-Nya agar sesuai dengan keinginan-Nya? Di sinilah wahyu
Allah berperan; memberi keterangan tentang bagaimana cara bertauhid yang
diinginkan-Nya.
Kedua fasilitas ini harus dijadikan pegangan hidup;
jangan mengutamakan yang satu dan
mengabaikan yang lain. Kendati begitu, banyak juga manusia yang lalai dan
menyalahgunakan fasilitas ini yang karenanya, sadar atau tidak, telah menentang
keinginan-Nya. Mereka adalah orang-orang yang digolongkan sebagai hamba-hamba
yang tidak bersyukur kepada-Nya. Allah berfirman:
Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima
kasih. (QS. Saba: 13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar